RELASI KUASA DALAM WACANA PESANTREN
Ada benarnya kalau Michael Foucault (1980), seorang ilmuwan sosial pelopor postmodernisme, mempersepsikan pengetahuan bukan sesuatu yang ada tanpa hubungan kekuasaan. Hubungan pengetahuan selalu include dalam hubungan kekuasaan.
Hubungan pengetahuan dengan kekuasaan ini tampaknya sudah lama menyebar kesemua aspek kehidupan, termasuk lembaga pendidikan agama yang sudah lama kita kenal. Sebut saja pendidikan pesantren. Sejak awal munculnya pesantren, sebenarnya masyarakat tidak mengenal istilah-istilah tradisional-modern seperti sekarang. Masyarakat kita baru mengenal pesantren berdasarkan klasifikasi tradisional-modern setelah ada proses pengkajian yang dilakukan oleh para ilmuwan Barat sekitar abad ke-18.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan kedatangan ilmuwan Barat, secara tidak langsung memberikan memberikan angin segar terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial, karena hampir tidak ada satu pun teori sosial yang lahir di Indonesia dan dikonstruksi secara genuine oleh ilmuwan sosial Indonesia (Agus Subagyo, 2003). Tetapi, yang perlu diingat bahwa pengklasifikasian pesantren tersebut, bukannya tanpa kepentingan. Bisa jadi ada unsur tendensi politis dari Barat untuk melakukan upaya-upaya kolonialisasi. Salah satunya adalah dengan memasukkan pengetahuan barat kedalam kesadaran kita.
Semisal, apa yang kita ketahui saat ini mengenai tradisionalitas pesantren. Asumsi awal, tradisional selalu identik dengan dengan kata terbelakang, kolot, tidak berkembang, bahkan juga irrasoinal. Begitupun sebaliknya, kalau modernitas identik dengan kata maju, progresif, dan selalu berperan dalam setiap kontestasi perubahan zaman.
Hal ini menunjukkan ada sistem hirarki dalam wacana pesantren. Antara tradisionalitas dengan modernitas, yang mana tradisional selalu menduduki posisi bawah dari pada modernitas. Wacana oposisional seperti ini sering kita dengar. Dan wacana ini memang dirancang barat dengan tujuan untuk menegasikan yang lain.
Sehingga proyeksi Barat dalam pertarungan wacana yang tidak seimbang ini adalah Barat dengan sendirinya akan semakin menegaskan diri menduduki posisi superior atas pemikirannya yang modern. Sedangkan yang tidak modern alias masih berpegang pada prinsip-prinsip tradisional, jelas akan terpinggirkan di era sekarang ini.
Dan kelihatannya tidak hanya pesantren yang berhasil diklasifikasikan berdasarkan corak khas kesehariannya. Bisa jadi yang telah dikaji ilmuwan sosial Barat sudah mencakup semua aspek kehidupan. Mulai dari cara berpikir, pola keberagamaan, kebudayaan, pendidikan sampai pada cara berinteraksi masyarakat kita sehari-hari.
Seperti halnya yang pernah di interpretasikan oleh Clliford greetz dalam memberikan penilaian tentang agama-agama yang ada di jawa. Dia mengklasifikasikan agama berdasarkan sudut pandang yang berbeda antara santri, priyayi, dan abangan.
Dari proses pengkajian yang dilakukan sarjana Barat tersebut, dapat di tarik sebuah pemahaman, bahwa aktifitas yang dilakukan oleh orang jawa pada umumnya adalah masih mengikut ajaran-ajaran mistik, irrasional, kuno, terbelakang dan tidak maju alias tidak berkembang. Masalah ini tentu saja mempunyai diferensiasi yang cukup jauh dari kebudayaan yang ada di Barat yang berperadaban, maju, dan lebih mengedepankan akal sehat.
permainan logika oposisional yang cenderung dihadap-hadapkan Barat ini sebenarnya berpretensi untuk melemahkan yang lain. Disatu sisi, kita memang tidak bisa menutup mata terhadap berbagai unsur kemajuan yang telah di capai Barat. Disisi lain, yang menjadi pokok permasalahan adalah dominasi Barat yang memposisikan diri sebagai penafsir. Memberikan penilaian yang cenderung destruktif, penuh dengan generalisasi serta mereduksikan objek yang di kaji. Hal ini yang sering kali lepas dari telaah kritis kita dalam melakukan penilaian kembali atas berbagai produk yang di hasilkan Barat.
Dan kalau kita kembali lagi ke pokok persoalannya, sebenarnya terletak pada siapa yang menginterpretasikan. Kalau menurut Barat, jelas kemajuan peradaban diukur dengan adanya kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan kalau menurut orang timur, terutama bagi orang jawa sendiri, takaran kemajuan belum tentu diukur dengan IPTEK. Sebab, mereka mempunyai cara pandang sendiri, berbeda dalam memberikan penafsiran atas kemajuan peradabannya sendiri.
Dan yang perlu diingat lagi, bahwa segala bentuk pewacanaan yang di gulirkan Barat dalam menganalisa objek kajiannya cenderung berpretensi melemahkan yang lain, menepis pendapat yang di anggap others dan memenangkan entitas yang dianggap sempurna. Dalam hal ini Barat sebagai centralnya.
Normalisasi pewacanaan
Dalam catatan sejarah, pesantren sering disebut sebagai bentengnya tradisi. menjaga terus warisan masa lalu, baik berupa tata nilai, cara berpikir dan perilaku. Karena itu pola pikir serta tata nilai yang diperoleh dari warisan masa lalu disebut tradisi.
masih mengingat-ingat kembali kearifan tradisi masa lalu. Banyak orang yang masih bisa menentukan diri sendiri, serta menikmati segala bentuk aktifitas kehidupan secara bersama, gotong royong tanpa harus mengedepankan sikap individual seperti yang ada dizaman modern sekarang.
Tetapi, ditengah keinginan untuk membangkitkan kembali nilai-nilai lokalitas yang sudah mulai tercerabut dari akar tradisinya, tampaknya mengalami kendala dan sulit untuk di realisasikan. Hal ini dikarenakan efek dari kolonialisasi yang saat ini berubah menjadi modernisasi yang seakan-akan sulit untuk dilepaskan dalam pikiran kita. Bahkan tidak jarang manusia bersikap pasif dan berlebihan dalam merespon berbagai bentuk kemajuan yang di bawah oleh modernisasi. Bisa jadi kemajuan yang berasal dari Barat, kini telah berubah menjadi dewa yang selalu di agung-agungkan dan juga menjadi candu yang seakan sulit untuk di lepaskan dari keterikatan produk Barat tersebut.
Padahal, kalau kita mau mencermati secara seksama, bahwa apapun bentuk blue print dari kemajuan yang di miliki Barat, tetap saja tidak lepas dari kecenderungan untuk mencetak manusia-manusia individualis, pragmatis sekaligus berperilaku hedonis. Sekalipun modernisasi telah mampu merubah peradaban menjadi gemilang, tetap saja menginginkan adanya bentuk “tumbal” yang dapat di jadikan sebagai korban dari kemajuan peradaban. Semisal, hancurnya ekosistem yang ada di bumi ini, dan rusaknya moralitas manusia akibat dari rasa ingin menang sendiri, unggul di bandingkan dengan lainnya.
Semua masalah sosial ini tampaknya tidak jauh dari muaranya, yakni manusia modern, yang kalau dirujuk pasti mengarah pada Barat (Eropa) yang hingga saat ini menduduki status sebagai induknya.
Masalah ini bukan berarti di maksudkan untuk mencari idealitas masa lalu sehingga merasa risih dengan kehidupan sekarang yang sudah mulai menunjukkan kebobrokannya. Akan tetapi, paling tidak kita mengetahui begaimana retakan-retakan sejarah yang terus di reproduksi dan di rekonstruksi dengan cara normalisasi pengetahuan Barat yang telah mendominasi hampir seluruh belahan dunia. Dan perlu di ketahui bahwa logika dualisme antara tradisional-modern ini tidak datang secara tiba-tiba. Pola relasi antara center dan ordinat ini terus diproduksi oleh Barat yang ingin melangengkan kekuasaannya.
Relasi kuasa dalam wacana
Kalau mau di cermati lebih dekat tentang dua entitas yang saling bersebrangan ini, sebenarnya terdapat relasi kuasa berupaya untuk mendominasi kultur masyarakat yang “tidak berperadaban”. Seperti halnya diferensiasi yang dianalisis oleh Edward W. Said tentang Barat dan Timur, yang menganggap pilahan ini dengan sengaja dibuat beda oleh kolonial barat. Dan yang menarik untuk diperhatikan bahwa perbedaan yang telah didesain barat, justru untuk menunjukkan superioritas kebudayaannya sendiri dan menganggap inferior kebudayaan Negara lain.
Bayangkan saja pada segala sesuatu yang diwacanakan kolonial melalui sarjana barat dalam mengkaji, meneliti pesantren bersamaan dengan naskah literal dan kultural, yang kemudian dikonsolidasikan dengan cara-cara tertentu untuk melihat dan memikirkan, sehingga dapat membantu terbentuknya kekuasaan kolonial.
Wacana itu tidak lepas dari adanya bentuk pengklasifikasian tentang pesantren yang berdasarkan pada kategorisasi, yakni ada pesantren yang dikategorisasikan sebagai tradisional dan modern. Dua corak pilahan yang saling binnary oposision ini disediakan dan secara tegas dipisah guna mengetahui secara rinci berdasarkan sistem pengetahuan barat yang penuh dengan bias kultural. Hal ini dengan sendirinya barat secara kontekstual semakin menegaskan posisi atas superioritasnya.
Hal ini dapat diketahui melalui berbagai bentuk penggambaran pesantren yang ditulis dalam naskah literatur barat, yang dikembangkan dalam kisah perjalanan penelitian sarjana barat untuk menelusuri dimensi ritual dari tradisi pesantren. Dalam hal ini Geertz menafsirkan dimensi-dimensi ritual dan mistik pesantren sebagai produk dari sintesa dan agama-agama Jawa. Menurut pandangannya, santri tradisional hidup dalam dunia yang menyendiri yang sebagian besar terisolasi dari pusat-pusat keramaian. Lebih lanjut lagi ia menggambarkan santri tradisional sebagai santri yang sangat kolot. Disamping itu dia juga mengafirmasi pandangannya tentang ulama bahwa ulama Jawa kurang sepenuhnya muslim (1960:125).
Melihat stereotip antroplog barat diatas, dalam mengkaji pesantren tradisional sangat jelas bukan lagi sebagai proses pengkajian yang dilakukan secara proporsional melainkan penuh dengan pereduksian dan bias kultur. Tujuannya adalah untuk mempermudah bagi antropolog barat untuk memasukkan budaya-budaya yang berasal dari barat (Eropa). Disamping itu mereka juga mencatat tentang kebiasaan aneh dalam kepercayaan agama, dan organisasi sosial yang bisa dianggap sebagai awal dari studi antropologi. Sehingga imbas terbesarnya adalah munculnya penjaga otoritas kebenaran ilmiah, layaknya Tuhan yakni segala sesuatu tidak akan diakui kebenarannya sebelum memperoleh legitimasi standar keilmiahan yang telah ditetapkan barat. Meskipun secara keilmuan memberikan andil yang besar, namun jangan dilupakan bahwa cara kerja antropolog dalam mengkaji pesantren juga terdapat kepentingan untuk menjajah.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Frantz Fanon bahwa praktik kolonialisme barat biasanya didukung dengan teori-teori kebudayaan yang bersifat rasial. Pada tahap awal bisa diketahui bahwa bangsa penjajah (Barat) menganggap bangsa jajahan tidak mempunyai kebudayaan. Namun dalam proses selanjutnya Barat pun mengakui atas keberadaan kebudayaan bangsa terjajah, tapi tetap saja masih jauh dari apa saja yang ada di Barat. Artinya kebudayaan yang ada di negara jajahan bersifat statis, tidak berkembang. Sehingga apa yang dilakukan Barat tidak lain menempatkan kebudayaan Timur berada pada strata yang paling bawah, sementara itu kebudayaan yang berasal dari barat (kolonial) menempati posisi atas dalam sebuah hirarki kebudayaan yang sengaja didesain untuk melegitimasi dominasi penjajah terhadap bangsa jajahannya. Dan sering kali masuknya budaya barat ke dalam sistem kebudayaan masyarakat setempat di orientasikan untuk mendewasakan kebudayaan-kebudayaan yang tengah mengalami ketertinggalan.
Dan ironisnya, setelah kolonial kembali ke negara asalnya, negara jajahan yang katanya telah resmi menyatakan dirinya merdeka dari penjajah, tapi tetap saja mewarisi kebudayaan barat yang bias kultural. Bayangkan saja pada kebudayaan yang ada di bangsa ini, masih terdapat hirarki budaya. Kebudayaan barat tetap merasa dirinya paling besar, sistematis, paling baik, sembari memandang budaya diluar dirinya berada dalam kategori rendah, tidak teratur, kumuh dan sebagainya.
Dengan demikian, apa yang terus diproduksi pesantren yang hingga saat ini masih dijaga eksistensinya yakni adanya hirarki kultural antara pesantren tradisional dengan pesantren modern. Hal ini tentu saja tidak luput dari warisan kolonial yang masih menyimpan bias kultural.
Dan penting untuk diingat bahwa produksi pengetahuan kolonial bukanlah melalui proses sederhana. Proses ini tentu melibatkan konflik dan marjinalisasi terhadap sistem pengetahuan dan keyakinan dari mereka yang ditaklukkan. Tetapi jika proses penaklukan itu menonjolkan kebrutalan dan perbedaan kultural, maka bersamaan dengan itu juga terjadi proses pengaburan secara terus menerus posisi barat dengan pihak lain, karena proses penanaman epistema kolonialisme barat tidak hanya dihasilkan melalui kekerasan maupun penindasan melainkan bernegosiasi dengan epistema yang sudah ada sebelumnya. Sehingga apa yang dilakukan pesantren setelah mendapatkan stigma tidak maju, stagnan, tradisional bahkan juga mistik dari hasil pereduksian nalar barat terhadap pesantren? Barat menyediakan pilahan yang serba dilematis, yakni antara memilih untuk tetap bertahan dengan keterbelakangannya atau memilih untuk ikut. Dalam artian menata diri untuk ikut serta berlomba-lomba menjadi modern. Itulah yang saat ini sedang di alami oleh institusi pendidikan pesantren.
Oleh sebab itu, pada poin ini kita perlu meninjau kembali sejarah hegemoni kolonial yang telah menekankan pada penyerapan dan transformasi gagasan-gagasan dan praktik-praktik yang dimiliki oleh mereka yang didominasi. Dalam hal ini, mengenai sejarah arogansi barat dalam memberikan penilaian “miring” terhadap kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan pesantren pada umumnya. Dan bukan berarti kita menganggap stereotip yang dimunculkan barat terhadap pesantren didasarkan atas ketidaktahuannya tentang pesantren, tetapi kepentingan yang ingin ditampilkan adalah untuk melestarikan rasa perbedaan antara barat modern dengan pihak lain (pesantren tradisional). Anehnya, dengan adanya diferensiasi ini menjadi sebuah karya ilmiah yang terus dirawat hingga sekarang, dan seakan membenarkan tesis sarjana barat yang mempunyai misi pemberadaban bagi yang tidak beradab.
Respon Terhadap Keadaan sekarang.
Masih ingat dengan model pendidikan pesantren tradisional yang dibangun berdasarkan atas nilai-nilai lokalitas. Nilai yang ditanamkan pesantren berdasarkan atas prinsip lokalitas tersebut, tercermin dalam bentuk kesederhanaan, kemandirian untuk menjalankan rutinitas keseharian. Misalkan tercerminkan dalam bentuk solidaritas antar sesama santri, bersikap mandiri dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Bahkan tidak jarang santri diberikan pelajaran tentang bagaimana cara memecahkan masalah hidup.
Belum lagi tentang masalah keilmuan yang di berikan, sampai pada tingginya hiroh untuk mencari ilmu, hingga santri rela bertahun-tahun lamanya untuk mondok di pesantren, hanya karena ingin terus memperdalam disiplin ilmu agama tanpa takut adanya batas waktu dan penjenjangan kelas. Ketika proses pendidikannya dirasa cukup untuk diri, santri disuruh kyainya untuk mengabdikan ilmunya pada masyarakat.
Dengan demikian, sikap ketradisionalan sebuah pendidikan pesantren berarti mempertahankan kebiasaan-kebiasaan, pemikiran, tingkah laku yang diturunkan turun temurun dalam satu generasi ke generasi lainnya, baik secara eksplisit maupun implisit, yang dianggap baik bagi kelangsungan suatu komunitas tanpa mempertanyakan apakah nilai tersebut masih relevan untuk digunakan dalam perubahan sosial.
Dan perlu dingat, bahwa tradisi pesantren, juga dapat dijadikan sebagai tolak ukur dari proses kaderisasi pesantren dalam menumbuh kembangkan generasi yang siap pakai dan tidak gagap dalam menjalani hidup di masyarakat. Sehingga dalam proses selanjutnya, pesantren dengan mudah menyiapkan generasi penerus ulama’ yang mampu berperan di masyarakat dalam mensyiarkan ajaran agama islam.
Oleh sebab itu, dalam rangka memahami peranan tradisi pesantren terhadap kelanjutan suatu komunitas sangat penting karena tanpa tradisi, komunitas tersebut akan kehilangan pegangan, mudah terbawa arus perubahan bahkan tercerabut dari watak aslinya.
Namun, seiring dengan perubahan zaman yang telah memasuki hampir semua aspek kehidupan, nilai-nilai lokalitas pesantren cenderung mulai memudarkan. tradisi kultural yang berbasis pada lokalitas kini sudah jarang dijumpai pada era yang serba digital saat ini. Bahkan akar tradisi yang dulu dapat dijadikan sebagai stamina bangkitnya pesantren atas represi kolonial barat cenderung ditinggalkan.
Hal ini di sebabkan oleh kuatnya pengaruh modernisasi, yang secara empirik tidak dapat di hindari. Disamping itu, pesantren tampaknya tidak ingin lagi diwacanakan sebagai lembaga pendidikan yang tertinggal, kuno, kolot serta bersikap non-koperatif terhadap berbagai pengaruh diluarnya. Pesantren ingin tampil berubah menjadi “lebih muda” untuk mengambil bagian dalam menyemarakkan arus modernisasi.
Sehingga, tidak heran apabila saat ini semangat untuk melakukan modernisasi pendidikan pesantren kian ramai dilakukan. Berbagai macam konsep, model maupun cara pandang telah ditata sedemikian rapi, dengan dalih mengejar ketertinggalan zaman. Pesantren tidak ingin lagi diklaim sebagai lembaga pendidikan yang tertinggal dari zaman.
Ini adalah cerita atas kondisi riil pesantren masa kini. Kalau sudah begitu, apa resiko yang bakal terjadi pada pesantren, setelah menerima berbagai bentuk pengambaran reduksionis melalui kaca mata modern? Salah satu permasalahan krusial yang kemungkinan besar akan menerpa pesantren, dalam memberikan respon positif terhadap modernisasi adalah:
pertama, tercerabutnya masyarakat pesantren dari akar tradisi. Pesantren setapak demi setapak akan menjauh dari kultur yang ada di pesantren. Dengan asumsi bahwa apa yang di miliki pesantren sudah tidak memiliki kesesuaian dengan perkembangan zaman. Sehingga, apa yang dilakukan pesantren sekarang tidak lain adalah mereposisi tradisi yang di anggap telah usang.
Kedua, sikap ketergantungan dari produk yang di hasilkan oleh barat sehingga menimbulkan hilangnya prinsip hidup mandiri. Misalkan, tradisi ngliwet (masak) sudah mulai jarang di jumpai. Santri lebih suka memilih hidup yang lebih praktis, membeli makanan di warung-warung dari pada harus bersusah paya, kesana-kemari menyiapkan segala peralatan yang di butuhkan.
Ketiga, Superioritas budaya Barat akan makin tegas muncul ke permukaan. Barat sebagai penggagas modernisasi, akan semakin memudahkan dirinya untuk mengekspor produk yang di miliki. Dengan dalih memajukan peradaban suatu negara yang tidak maju.
Padahal, modernitas dalam realitas kehidupan kemanusiaan, masih menyisakan sejuta problematika yang mesti dijawab secara serius. Ini dibuktikan dengan realitas emperik yang memilukan, seperti kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, bahkan sampai pada imprealisme budaya yang mampu menciptakan ketidak harmonisan antar sesama (individualistik). Lalu di manakah modernitas di tengah problem sosial semua ini?
18/11/08
Relasi Kuasa Dalam Wacana Pesantren
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar