18/11/08

Budaya Jawa


Budaya Jawa lahir dari falsafah ajaran hidup yang sudah dikenal dianut turun temurun oleh masyarakat Jawa sampai saat ini. Pada perkembangannya seiring dengan berkembangnya masyarakat dan berkembangnya problematika sosial, tidak jarang diantara orang Non-Jawa dan Jawa sendiri mempertanyakan tentang kesesuaian falsafah hidup orang Jawa dengan masa sekarang ini.
Bahkan banyak juga yang beranggapan bahwa persoalan-persoalan negara kita ini disebabkan oleh landasan falsafah yang dianut oleh orang Jawa. Berbagai persoalan yang membelit bangsa, mulai dari persoalan sosial sampai persoalan kenegaraan semisal kemalasan, KKN, tidak logis dan tidak realistis “masih percaya mistisis secara berlebihan” dan lain sebagainya selalu dikaitkan dengan falsafah Jawa.


Bentuk sinisme terhadap falsafah Jawa tersebut antara lain adalah pemaknaan negatif atas berbagai falsafah hihup Jawa. Misalnya, ajarah Jawa yang mengatakan “alon-alon sing penting klakon” sebagai sebab utama kemalasan yang terjadi dikalangan masyarakat kita. “Mulat sariro dan tepo sliro” diartikan bahwa orang Jawa sangat toleran terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukasn oleh sanak kerabatnya. ”Mikul dhuwur mendhem jero” dimaknai untuk tidak mengadili orang tua atau pemimpin yang bersalah,”sesanti unen-unen Jawa” dimaknai anti-logis atau bertantangan dengan logika umum, dan masih banyak ajaran-ajaran falsafah Jawa yang sering salah dimaknai terutama oleh orang non Jawa ataupun kebanyakan orang Jawa sendiri. Sehingga tidak dapat dipungkiri, mengenai gaya hidup saja orang Jawa sudah mulai kebarat-baratan dan meninggalkan falsafah di bumi yang diinjaknya.
Etika Jawa merupakan etika mayoritas di negeri ini, dan etika Jawa diduga digunakan oleh sejumlah orang bukan hanya orang Jawa itu sendiri, sebagai akibat sistem politik dan birokrasi yang berlaku selama kemerdekaan khususnya tiga dasawarsa terakhir.
Situasi seperti ini dijumpai pula pada kehidupan birokrasi kenegaraan seperti disinyalir oleh para kritisi sosial dan para budayawan misalnya WS Rendra, Muchtar Lubis, Kuntowijoyo dan lainnya khususnya pada masa orde baru. Mereka melihat adanya praktek-praktek yang berasal dari budaya Jawa yang masih kental hidup dalam struktur kenegaraan, utamanya dalam birokrasi paternalistik kita. Dalam iklim yang mengarah kepada demokrasi, terdapat budaya Jawa yang tidak cocok karena memiliki nuansa fatalisme dan stagnan. Lebih jauh kultur Jawa dituduh sebagai patologi kebudayaan dalam tubuh bangsa (Nur Khalik, 1998).
Sebenarnya perbedaan sudut pandang pemaknaan tentang kemajuanlah yang memberikan kesan negatif terhadap Budaya jawa, sering kali kemajuan masyarakat atau kita sebut dengan “Masyarakat Madani” adalah mereka yang sudah menganut gaya hidup kebarat-baratan, majunya Teknologi, dan beberapa gaya hidup yang lain, yang itu cenderung kita adopsi dari barat. Padahal, gaya hidup yang semacam ini membentuk masyarakat yang individualis.
Masyarakat Madani dalam persepsi Jawa adalah sebuah masyarakat yang didalamnya tercipta kerukunan, kebersamaan, yang initinya terbangun sebuah kesadaran sosial yang tinggi dan saling menghormati satu sama lain. Jadi, seandainya kita menggunakan tolak ukur kemajuan dari persepsi Budaya barat maka Budaya kita menjadi kebudayaan yang sangat tertinggal. Begitu pula ketika kemajuan masyarakat dilihat dari sudut pandang Budaya kita maka kebudayaan yang mengarah pada sifat Individualis adalah kebudayaan yang tidak membawa masyarakat pada kemajuan.
Untuk menepis anggapan bahwa budaya lokal, dalam hal ini budaya dan falsafah hidup orang Jawa yang menyebabkan banyak persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat kita dan tak kunjung terselesaikan, maka perlu kita lakukan study kasus. Hal ini kita akan mengupas salah satu kota di pulau Jawa yang dirasa masih sangat kental dengan budaya Jawa.
Kota Jogya yang sampai detik ini kita nilai masih erat dan kental dengan budaya Jawa, pada tanggal 27 mei diguncang oleh gempa tektonik berkekuatan 5,9 Scala Rihter yang melluh lantakkan sebagian besar daerah Bantul dan sekitarnya. Dan disini kita tidak akan membicarakan tentang bencana tersebut panjang lebar, namun yang coba kita angkat adalah keterkaitan budaya Jawa serta peranannya dalam memulihkan Yogyakarta dari keterpurukan.
Ketika dijogya selama masa bencana kami membaca sebuah bulletin local dan terpampang slogan bertuliskan “Manunggaling rasa amrih pulih lan Rukun” atau satu rasa demi pemulihan dan rukun, sebuah slogan yang semestinya dikaji lebih dalam mengandung sebuah ajakan untuk satu sama lain saling merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya. Setelah kami melakukan pengamatan ternyata kalimat ini tidak hanya menjadi slogan yang tidak berarti. Pada kenyataannya masyarakat Yogyakarta masih memegang falsafah Jawa yang hingga saat ini banyak ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat kita. Ini dibuktikan dengan beberapa fakta diantaranya dengan adanya rasa kepedulian yang sangat tinggi antara masyarakat Yogya yang satu dengan yang lainnya diilhami dari keinginan bangkit kembali dari bencana yang telah menimpa mereka.
Sikap gotong-royong masih sangat dianut, meskipun hal ini sudah mulai terkikis di kota-kota besar semisal Surabaya, Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Masyarakat modern selalu mengkalkulasikan dengan untung dan rugi, sehingga budaya gotong royong sudah sangat sedikit kita jumpai. Rela berkorban dan ikut juga merasakan jika salah satu mendapat cobaan. Dalam masyarakat seperti inipun kita temukan rasa toleransi yang begitu kuat, sehingga meskipun berbeda dalam hal etnis,agama, warna kulit, mereka dapat memahami satu dengan yang lainnya. Sebuah cerminan . “Mulat sariro dan tepo sliro” yang mengajarkan untuk selalu instropeksi akan diri sendiri. “ aku ini apa? Aku ini siapa?, dan akan kemana?,serta mengapa aku ada?, kesadaran selalu instropeksi pada diri sendiri akan melahirkan watak tepa selira, berempati secara terus menerus kepada sesama manusia. Kebebasan individu akan berakhir ketika yang lain juga berkehendak atau merasa bebas. Maka pemahaman Mulat sariro dan tepo seliro merupakan bekal kepada setiap individu yang mencitakan kebebasan dalam hidup bersama-sama, bukan?.
Ketika saya mengamati salah satu desa dikecamatan Bantul ada kesan yang berbeda jika dibandingkan daerah-daerah lain di Jawa. Suasana keakraban yang terbangun meskipun ditengah-tengah musibah, saling tolong-menolong, bahkan saya dan teman-teman PKLI disana kami menemui salah satu bentuk kearifan timur, seorang janda yang sebagian rumahnya hancur karena gempa tidak mau kalo rumahnya dibesihkan oleh teman-teman, dengan arif ia berkata “ Mas sebelum membersihkan rumah saya lebih baik sampean membantu tetangga sebelah dulu” , orang akan lebih mementingkan diri sendiri dari pada orang lain, tapi tidak begitu halnya seperti yang kami temui.
Untuk membangun kembali rumah-rumah yang hancur karena gempa mereka dirikan kembali dengan gotong-royong, suasana guyup serta nuansa kekeluargaan masih sangat kental, mereka mempunyai kemandiriaan dengan berusaha untuk bengkit dengan swadaya masyarakat sendiri tanpa menunggu uluran dari pemerintah.ditengah-tengah suasana yang seperti itupun mereka menaruh perhatian yang bagi kami berlebihan semisal membari kami mie instan, beras dan lain sebagainya. Padahal barang-barang semacam itu mereka lebih membutuhkan.
Sebuah kasus kami temukan, ada sekelompok pemuda yang sedang mabuk-mabukan dengan gaya punk, rabut full semir, badan bertato. Kemudian salah seorang dari mereka buang air kecil dipinggir jalan. Dan ada bapak-bapak memergoki mereka seraya berkata “ hei…!!! Ojo nguyo ning dono,” kemudian pemuda tersebut menjawab “ngapunten pak”. aneh rasanya kalo kita bandingkan dimalang, bahkan tampang sesangar itupun masih menghormati orang tua.
Disisi lain seperti yang sudah saya singgung diatas disisi lain orang menganggap budaya jawa tidak memberikan sumbangsih terhadap kemajuan, tapi bagaimanapun juga kita tidak dapat menelan mentah-mentah karena dalam budaya apapun ada unsur negatif dan positiv yang semestinya kita sikapi dengan bijak. Disisi lain orang menganggap masyarakat yang mempunyai kesadaran tinggi dengan kepedulian satu sama lain, tolong-menolong, guyup, gotong-royong, adalah ciri masyarakat yang maju. Pada akhirnya sikap bijak kitalah yang akan menentukan penilaian kita.


0 comments:

Toggle

Contributors