KUNTULAN YANG BERTAHAN DI TENGAH BENTURAN SOSIAL AGAMA
Hadrah Kuntulan merupakan sebuah tranformasi kesenian hadrah yang bernuansa arab. Pertunjukan seni ini, pada mulanya didominasi penari laki-laki, kemudian berubah menjadi karya seni yang dikolaborasikan dengan tarian daerah seperti Gandrung, Damarwulan, dan Trengganis serta tarian lainnya. Tidak hanya tari-tariannya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun menyesuaikan tradisi kedaerahan Banyuwangi. Kini kehadirannya menambah warna dari sekian kesenian bernuansa agamis di Indonesia, menyamai kesenian-kesenian islamis lain seperti Saman di Aceh, Jafen di Sumatra.
Pada awalnya seni hadrah bukan kesenian islami satu-satunya yang berada di Banyuwangi, ada beberapa di antaranya Ujrat, Tunpitujat dan pembacaan al-Barjanji yang diiringi alat musik Gembrung, diambil dari catatan John Scholte seorang antropolog pada tahun 1926. Sampai sekarang seni tradisi Islam seperti pembacaan Al-Barjanji dengan iringan Gembrung masih tetap dilakukan masyarakat Osing di desa Kemiren.
Perjalanan Pemaknaan identitas Kuntulan
Sebutan Kuntul sebagai simbol, menurut Sutedjo HN (budayawan Banyuwangi) merupakan representasi dari gaya hidup sosial yang lebih mementingkan kebersamaan, serasa dan sepenangungan di antara sesamanya. Hal ini diilhami dari cara hidup burung Kuntul yang selalu memanggil teman-temannya dikala mendapatkan makanan. Lalu dilambangkan dalam bentuk lambaian tangan penari.
Pendapat ini ditunjang kondisi pertanian yang ada di Banyuwangi. Kesuburan tanah yang terhampar memberikan kemudahan para petani dalam bercocok tanam. Sambil menunggu tanaman padi memasuki musim panen, para petani di Banyuwangi terbiasa memanjakan diri mereka dengan memainkan Angklung.
Ketika Jepang masuk Banyuwangi, kehidupan masyarakat Banyuwangi mengalamai kekurangan pangan yang cukup parah. Banyak dari penduduk tidak bisa hidup layak seperti sebelumnya. Gambaran kesulitan ini bisa dilihat dari hasil karya seniman setempat, lagu Genjer-genjer yang muncul pada tahun 1942 karya Moh. Arif, memberikan gambaran kesulitan pangan penduduk Banyuwangi sebagai imbas pendudukan Jepang di wilayah Banyuwangi, sehingga tumbuhan Genjer yang tumbuh liar di area persawahan dan tidak menjadi perhatian penduduk, dijadikan bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari.
Perjalanan hidup yang sulit membangkitkan para seniman daerah merespon dalam bentuk kesenian. Maka Kuntulan sebagai perlambangan dari kerukunan masyarakat mengkontruksi kesadaran baru pada seluruh masyarakat Banyuwangi agar hidup dalam kebersamaan untuk mewujudkan Banyuwangi yang senasib dan sepenanggungan tanpa ada rasa ingin menguasai tanah warisan leluhur sebagai milik individual.
Hadirnya hadrah Kuntulan yang mengusung syi’ar agama di Banyuwangi bisa disejajarkan dengan kesenian tradisi lainnya. Seperti Gandrung yang hadir sebelum muncul hadrah Kuntulan.
Metamorfosis Hadrah Kuntulan
Hadrah Kuntulan mengalami transformasi bentuk berulang kali. Pertama, dari bentuknya yang murni bernuansa agama, disebut seni Hadrah dengan instrument musik rebana dan kendang. Hadrah tampil sebagai alat identitas kemurnian Islam Arab. Penari masih laki-laki dengan bentuk tarian menyerupai tarian Saman dari Aceh, tembang yang dilantunkan hanya Burda.
Kedua, seni hadrah yang ditambah dengan tembang-tembang berbahasa daerah semisal Tombo Ati, metamorfosis kedua ini disebut hadrah Kuntulan, sampai sekarang nama tersebut digunakan. Instrument alat musiknya sudah mengalami kolaborasi dari beberapa alat kesenian lainnya, antara lain angklung, bonang Bali, dan Kluncing. Penarinya sudah berganti perempuan dimana unsur tarian yang dibawakan merupakan kolaborasi beberapa jenis tarian baik dari Gandrung, Damarwulan, Trengganis dan lainnya.
Asal muasal keberadaan hadrah Kuntulan menurut versi tokoh pesantren adalah perpaduan kesenian hadrah dan al-JIN, yaitu kesenian asli Banyuwangi berupa pembacaan tulisan pegon (tulisan arab tapi berbahasa Jawa) yang ritme nadanya seperti orang Ngidung. Kekhasan pembacaan Al-Jin yang tidak ditemukan di wilayah selain Banyuwangi mengambarkan bagi kalangan pesantren bahwa kesenian hadrah kuntulan dari dulunya lebih banyak terdorong dari kesenian daerah daripada unsur Islam yang diambil dari timur tengah seperti Burda dan al-Barjanji
Hadrah ini dikembangkan oleh seniman daerah dengan tujuan masyarakat mengetahui makna yang terkandung di setiap penampilan hadrah. Karena isi-isi Burda yang berbahasa arab tidak berhasil difahami masyarakat Banyuwangi, maka disadurlah dan diartikan kembali isi Burda tersebut dengan bentuk tembang-tembang yang berbahasa daerah (Osing). Runtutan pertunjukan hadrah kuntulan bisa dimulai dengan tarian, kemudian tembang-tembang mengiringinya atau sebaliknya.
Ketiga, disebut Kundaran kepanjangan dari Kuntulan kang didadar (seni Kuntulan yang diperlebar). Sebenarnya Kundaran hanya sebuah garapan artistik untuk menyempurnakan tampilan dari kesenian hadrah tersebut. “Kundaran itu seperti pertunjukan jejer Gandrung yang merupakan bagian dari pertunjukan Gandrung, jadi Kundaran masih bersifat perbaruan gerak dan isi dari Kuntulan saja, belum bisa dikatakan kesenian tersendiri”, tutur Sayun salah satu orang yang memprakarsai munculnya hadarah Kuntulan. Kundaran sebagai tahapan terakhir mengusung kepentingan bagaimana kesenian tersebut makin dinikmati dan dimiliki oleh masyarakat sekaligus memperluas kesadaran beragama yang diapresiasikan pada kepemilikan kesenian itu sendiri.
Kontroversi Hadrah Kuntulan dan Islam
Posisi Kuntulan sebagai sebuah karya pun tak luput dari perdebatan, apakah Kuntulan sebagai seni Islam atau tidak. Sebagian kalangan pesantren modern menganggap Kuntulan sah-sah saja dan menyerupai perjuangan Walisongo.
“Secara pribadi, kadang timbul rasa tidak setuju kalau hadrah Kuntulan dimasukkan dalam seni Islam, walau sebenarnya sedikit ada untungnya bagi Islam, sebagai media dakwah”, jelas KH. Daelami Ahmad pengasuh pondok pesantren Darul Ahsan. Dakwah tidak harus ceramah, bisa lewat media seni budaya. Hal yang tidak tersadari seperti inilah menurut kalangan pesantren adalah segi-segi positif dari kehadiran hadrah Kuntulan di tengah penyebaran Islam.
Sedangkan para tokoh agama yang fanatik dan ortodok, tidak menerima sedikitpun keberadaan hadrah Kuntulan, karena bagi mereka hadrah Kuntulan diselipi budaya-budaya yang dihasilkan oleh agama di luar Islam. Kedua, bagi kalangan Islam fanatik alat-alat yang dipakai tidak boleh berintonasi (tangga nada).
Analogi kelompok ortodok dan Islam fanatik menjelaskan, perbuatan apapun kalau tidak diteliti niscaya terseret pada kesalahan beragama. Contohnya budaya berjabat tangan, prilaku ini dianggap benar menurut syar’i, akan tetapi kalau tidak jeli dan hati-hati, budaya ini berubah pada bentuk maksiat. Sama halnya hadrah Kuntulan, beberapa diantaranya menganggap ini sah, tetapi ketika mereka yang tidak faham tentang alur bagaimana komposisi hadrah Kuntulan itu dibuat, maka akan mengarah pada bentuk pelanggaran agama dan penyelewengan.
Berbeda cara syi’ar kaum pesantren, berbeda pula syi’ar yang dilakukan komunitas seniman. Bagi Sobary Sopyan, penata tarian Kuntulan, bahwa beberapa unsur agama yang didapati dikesenian hadrah Kuntulan, membuka ruang pemaknaan yang holistik dari aspek moralitas keberagamaan. Baginya, memberikan pemaknaan pada unsur-unsur agama yang terkandung dalam kuntulan tidak hanya dimiliki oleh agama yang satu saja (Islam), namun beberapa pemaknaan tentang ritualistik dijalankan oleh agama yang lain. Maka proses pemaknaan dari unsur agama yang terkandung di dalam seni Kuntulan menunjukkan nilai kearifan antar agama. Ambil contoh saja Bonang Bali, pelantunannya yang indah sesuai dengan tatanan yang ditentukan mencerminkan bahwa unsur Bali dalam hal ini Hindu jika dilakukan sebaik mungkin akan menghasilkan keserasian dan keseragaman yang seirama dan seimbang. Hal ini tidak lain mengilustrasikan akar ritual yang dilakukan setiap agama adalah sama baiknya sesuai koridor tatanan agama masing-masing yang menjunjung kebajikan. Bagi Islam yang memunculkan kesenian tersebut menunjukkan inklusifitas dalam pluralisme beragama
Benturan Standar Moral-sosial-agama
Kesan erotis dan ditampilkan oleh penari perempuan, dihukumi sudah keluar dari tatanan agama (Islam). Di berbagai kesempatan acara-acara Islam, hadrah Kuntulan disubordinasikan dari bentuk kesenian Islam lainnya. Misalnya saja pada peringatan Isro’ Mi’roj dan Maulid Nabi Muhammad, Kuntulan jarang ditampilkan. Jikalau diundang untuk tampil, grup Kuntulan hanya datang sebagian personel, “acara maulid di Masjid cuman terbang saja yang diminta”, kata Rawin, pemilik hadrah Kuntulan asal Kertosari.
“Pernah akan masuk dapur rekaman tetapi karena intro musik berupa musik grending grending, (bertangga nada menyerupai piano–penulis, red) saya dilarang”, tutur Mu’awanah.
Tidak hanya agama yang menyebabkan benturan nilai, tapi juga benturan wilayah. Menurut Hasan Basri, “setidaknya ada tiga desa yang tidak memperbolehkan mengantung gong di desa mereka, diantaranya desa Penataban, desa Lukjaj dan Lateng. Di desa Lukjaj, pernah terjadi pelanggaran norma adat dimana salah satu warganya dengan sengaja mengundang komunitas kesenian yang memakai gong, sebagai akibat dari pelanggaran itu, orang yang memiliki hajatan mengalami kelainan fisik berupa geleng-geleng kepala menyerupai gerak gong yang ditabuh”.
Selain subordinasi yang dilakukan kaum agamawan, standarisasi moral-sosial kemasyarakatan juga memberikan stereotip negatif pada tradisi hadrah kuntulan. Ruang konflik pertengkaran antar pemuda serta identik munculnya pesta miras (minuman keras) menambah nilai negatif kesenian tradisi, tidak terkecuali keberadaan hadrah Kuntulan.
Awal tragedi sosial ini sebenarnya tidak bisa dicari pangkal kemunculannya, hanya saja beberapa orang menganggap, bahwa timbulnya penyakit sosial ini dimulai dari keberadaan kesenian modern seperti karaoke dan yang lain, yang pada akhirnya setiap ada pertunjukan kesenian gerombolan-gerombolan pemuda yang menyimpan unsur konflik antar sesamanya bertemu kembali dipertunjukan kesenian tradisi, tutur Imam Suyuthi. Dari fenomena sosial yang seperti inilah kalangan pesantren menjustifikasi kesenian hadrah Kuntulan sudah keluar dari koridor agama, agen penimbul maksiat.
Perjuangan Adaptasi Kuntulan
Dengan adanya kontroversi mengenai posisi Kuntulan, memaksa komunitas atau group Kuntulan untuk dapat tampil sesuai dengan situasi dan kondisi sosial-agama.
Identitas penari atau anggota Kuntulan sebelum mereka menampilkan kesenian di depan tokoh agama atau tempat agama (pesantren), atribut busana mulai dari berpakaian, riasan dan yang lain mereka sembunyikan dari perhatian umum. Baru di saat mereka masuk pada acara resmi, mulai dipentaskan, busana serta atribut kesenian lainnya dipakai saat itu juga. Tidak pada awal kedatangannya saja, ketika sudah selesai menampilkan hadrah kuntulan anggota juga bergegas untuk menganti kembali atribut yang telah terpakai. Tujuan dari ini semua adalah penghilangan jejak dari sentimen-sentimen kaum santri yang mencoba untuk menghakimi mereka sehabis acara pertunjukan selesai
Adaptasi kesenian hadrah Kuntulan dan kesenian daerah lainnya pada akhirnya mengantisipasi waktu dari sekian jedah yang harus mereka tampilkan. Banyaknya waktu yang dipanggungkan oleh kesenian tradisi tersebut dalam kondisi sekarang tidak lagi dianggap efektif. Oleh karenanya beberapa seniman kemudian memodifikasi bagaimana membuat kalkulasi waktu yang tidak sampai larut malam, dari sajian terkadang waktu dimulainya kesenian dipercepat untuk menanggulangi banyaknya pesta miras dan kerusuhan lainnya yang terjadi pada waktu tengah malam
“Kalau dulu mulai jam 21.00 wib, sekarang dimulai jam 19.00 wib, tidak usah menunggu tamu datang”, jelas mak Temu, salah satu penari Gandrung. Atau bisa juga dengan memperamping tembang-tembang yang dinyanyikan..
Sebenarnya keadaan ini tidak menguntungkan komunitas kesenian, “kalau tempo dulu tamu yang harus menghormati kesenian, tetapi sekarang terbalik, malah kesenian yang harus menghormati tamu”, kilah mbok Temu. Mau tidak mau penghilangan identitas jelek yang melekat pada komunitas kesenian yang ditimbulkan oleh penontonnya harus mereka lakukan dengan bentuk negosiasi sosial dengan cara apapun, termasuk pengaturan waktu.
Walaupun demikian, group Kuntulan bisa bersikap fleksibel, mereka bisa menampilkan sesuai dengan yang diinginkan oleh pengundang.
Menuai Hasil Perjuangan
Memang hadrah Kuntulan tidak bisa sepenuhnya berjalan mulus. Ada jalan terjal yang harus dilewati. Banyuwangi Selatan saja yang kebanyakan masyarakat Jawa hampir tidak ditemui kesenian hadrah kuntulan di tengah-tengah mereka, namun sekarang kondisi tersebut berbalik, wilayah seperti Gambiran dan Bango yang ditempati komunitas Jawa yang dulunya tidak memiliki kelompok kesenian tradisi kemarin saja mendaftarkan 60 peserta pada festival tari itu hanya satu kecamatan, Songgon daerah gunung mendaftarkan 300 peserta kuntulan”, jelas Sayun.
Namun begitu, di komunitas luar Banyuwangi kesenian hadrah Kuntulan lebih identik sebagai milik suku Osing, boleh jadi kesan yang demikian tidak menjadi persoalan yang berlebih pada segenap suku yang mendiami di kawasan Banyuwangi. Pada penampilannya di Jakarta, Aekanu Hariyono sebagai ketua dewan pariwisata Banyuwangi menceritakan pada suatu rapat di Dewan Kesenian Blambangan (DKB) bahwa kesenian hadrah kuntulan yang ada di Banyuwangi tidak semata-mata milik masyarakat Osing semata, namun kebetulan yang tampil kebanyakan keturunan Osing tapi bukan Osing mainded. Dari kesan beragamannya hadrah Kuntulan bisa ditarikan oleh lintas agama serta lintas etnik, di Jakarta kemarin komposisi penari sudah lintas agama dan mereka tidak risih, jelasnya.
Di lain sisi heterogenitas yang berada di Banyuwangi juga berperan pada bagaimana tari itu ditampilkan. Ada suku Ambon, Sulawesi, Makasar, Melayu, dan Bugis. Untuk mendinamisasi heterogenitas yang ada di Banyuwangi, tampilan hadrah Kuntulan memainkan banyak persimbolan di dalamnya, baik dari gerak tari, lantunan musik, instrumen musik yang lebih identik sebagai peralatan ritualistik agama dll. Maka variasi tarian yang tersusupi dalam Kuntulan tidak ubahnya banyaknya kesenian yang berada di masyarakat Banyuwangi. Awalnya yang paling nampak di kuntulan adalah tari Saman, akan tetapi motivasi untuk mengembangkan Kuntulan pada tahap yang lebih maju menyesuaikan kondisi zaman yang semakin modern dan global mendorong terciptanya bentuk baru dari kuntulan
Obyek Kapitalisasi
Sampai sekarang hadrah Kuntulan dalam berbagai festival, baik tingkat daerah maupun nasional pernah diadakan oleh pemerintah dan atau bekerjasama dengan lembaga yang lain seperti NGO, memberikan komposisi berbeda pada setiap iven-iven paketan tersebut tergantung pada kesan yang diinginkan oleh lembaga yang mengadakannya. Misalnya saja pada tahun belakangan ini ada lomba hadrah Kuntulan yang komposisi tampilanya didesain 60% dakwah dan 40 % pendidikan.
Pada tahapan kreasi seperti ini hadrah Kuntulan memiliki koridor atau patokan yang tidak boleh ditinggalkan antara lain (1) musiknya, bagaimana menyajikan kemampuan yang profesional, (2) Rodad yang sebelumnya lagu-lagu yang memiliki nuansa agama (3) adalah ajakan yang diutarakan dalam seni tari. Pembagian Rodad juga diklasifikasikan pada beberapa bagian, rodad sholawat yang disajikan pada permulaan pementasan dan rodad menyampaikan dakwah istilahnya rodad syi’iran, rodad tontonan yang bisa dimasuki bahasa daerah.
Di kancah pergulatan dapur rekaman antara musik daerah dan kesenian tradisi lainnya, kesenian hadrah juga mendapatkan bagian dari kepentingan pemodal untuk mengambil keuntungan dari mereka, entah itu dengan carah pementasan mereka di rumah-rumah penduduk yang kemudian didokumentasikan dalam bentuk CD atau dilakukan dengan mengundang mereka pada komunitas di luar Banyuwangi yang bertempat gedung-gedung mewah didesain untuk memperindah kemasan tampilan.
Tuntutan ekonomi dan jiwa kesenian yang melekat pada karakteristik mereka tidaklah sebanding. Dari setiap kali tampil, kelompok kuntulan hanya minta uang untuk keperluan administrasi dan biaya akomodasi paling mahal 1,5 jt, setelah dibagi-bagi biasanya pengendang hanya mendapatkan honor Rp 7.000, sesuatu yang tidak seimbang dengan apa yang mereka lakukan selama semalam suntuk, tetapi keadaan yang demikian ini mereka tepis dengan keenjoy-an mereka sebagai seniman, “makan bareng dengan teman-teman sesama penari di tempayan yang sama, sudah sangat senang mas”, aku Ari Prihatini E.M.S mantan penari kuntulan Kertosari.
Kesenangan lain yang mereka dapat dari sekedar kalkulasi uang adalah antusias masyarakat menonton mereka menyajikan kesenian merupakan penghargaan yang paling didambakan. Pada tahun 1970-an kesenian hadrah Kuntulan muncul dengan keseniannya yang baru berupa Hadrah Kuntulan Caruk, yaitu dua kelompok grup hadrah Kuntulan saling bertemu dan berunjuk kebolehan dalam hal apapun, baik menari, melatunkan syi’iran dan permainan alat musiknya. Dari seni caruk ini, kelompok mana yang dapat mengambil perhatian massa paling banyak maka kelompok tersebutlah pemenangnya dan dapat penghargaan berlebih diwilayah sosial saat itu.
Perjalanan panjang hadrah kuntulan dari masa ke-masa tercatat dalam realitas kehidupan khusunya masyarakat Banyuwangi, bahwa kesenian hadrah Kuntulan hadir di tengah masyarakat sebagai kesenian yang merakyat dan dimiliki oleh setiap warganya tanpa terkecuali. Hitungan nominal sebagai imbal jasa yang telah mereka lakukan tidaklah pantas disebut sebagai satu lahan pekerjaan yang prestisius mengalahi bintang film atau bintang penyanyi walau dalam berbagai kesempatan mereka hadir dan menyumbangkan nama harum bagi Banyuwangi dan propinsi Jawa Timur. Tercatat dalam pentas kesenian nasional hadrah Kuntulan pernah menjadi pemenang dalam lomba Festival Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta, sayangnya kelompok hadrah Kuntulan tidak mendapat pandangan yang serius dari pemerintah.
Namun, kesenian hadrah Kuntulan sudah menancapkan kukunya di medan internasional. Beberapa waktu yang akan datang hadrah Kuntulan dengan membawakan tembang rodad syi’iran, rodad tontonan berkolaborasi dengan Barongan, akan tampil di Jepang. Sangatlah lumrah bagi komunitas kesenian Banyuwangi jika mereka diundang ke penjuru dunia, tetapi yang perlu diamati dari kejadian seperti ini adalah keterkaitan antar orang yang memiliki hubungan luar saja yang membawa kelompok Kuntulan tertentu untuk tampil di pentas-pentas internasional, selainnya tidak.
Ironisnya kesempatan yang tidak menguntungkan ini mengkontruksi pada kompetisi yang negatif antar komunitas kesenian hadrah Kuntulan. Bagi mereka yang memenangkan festival-festival lokal maupun nasional tidak menjadi acuan dasar untuk dibawa pada acara yang lebih tinggi lagi. Unsur keterikatan keluarga dengan ases informasi dari pemerintah, pembayaran yang murah saat dipentaskan dan beberapa alasan yang lain, menyudutkan pada persoalan kembang-kempisnya komunitas kesenian hadrah Kuntulan.
Islamisasi kesenian
Pada masa penjajahan Belanda, Islam masuk ke Blambangan (sekarang Banyuwangi). Kedatangan Islam sarat dengan nuansa politik. Tujuan masuknya agama Islam ke Blambangan adalah untuk meredam gerakan masyarakat Blambangan. Blambangan, terkenal masyarakat yang sulit sekali ditaklukan. Ketika Belanda berhasil merebut Blambangan, kebijakan pertama yang diberlakukan adalah mendirikan wilayah kekuasan yang bisa disetir oleh Belanda, lebih halusnya lagi dinormalisisasi dengan serangkaian aturan agama yang menguntungkan kepenguasaannya. Walhasil, Raden Mas Alit sebagai bupati pertama beserta para punggawa yang diangkat sekitar tahun 1770-an oleh Belanda diharuskan memeluk agama Islam, bukti kolonialisasi berwajah agama.
Pesan misionaris agama bisa dilacak pula pada sejarah perjalanan kesenian gandrung yang awal-awalnya ditarikan oleh orang laki-laki. Scholte menjelaskan bahwa para penari gandrung setiap saat mengelilingi desa dengan membawa buntalan tas yang dibuat sebagai tempat beras hasil penampilan. Burda, selatun, wak aji, santri molih, tombo ati, ayun-ayun dan yang lainnya adalah beberapa tembang bernuansa agamis dari sekian banyaknya tembang yang dinyayikan pada setiap pertunjukkan di desa-desa tersebut. Sehingga disamping membawa misi mempersatukan kembali rakyat Blambangan, gantrung juga digunakan sebagai alat penyampaian dakwah.
Pada sekitar tahun 1950 kesenian hadrah muncul dengan penari laki-laki, menyerupai perjalanan gandrung laki-laki masa dulu. Hadrah pun tampil dengan mengusung syi’ar murni agama lewat tembang yang diambil dari Burdah. Pada masa bersamaan arus kesenian Banyuwangi mulai bermunculan, seolah-olah bangkit kembali dari tradisi yang sudah lama diwariskan oleh leluhur, seperti Angklung, Damarwulan, Rengganis.
Kesenian-kesenian ini mulai bangkit dan memasyarakat ditandai dengan berdirinya organisasi kesenian yang memberikan peluang dan tempat berapresiasi. Pada kepemimpinan Soekarno Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) memberikan perhatian berlebih pada kesenian-kesenian rakyat sebagai muatan perpolitikannya. Seniman-seniman daerah yang bergabung dengan Lekra merasa mendapat angin segar, berbondong-bondong mengabdiakn dirinya dengan sejumlah karya seni masing-masing dengan mengusung unsur bahasa daerah sebagai ciri khas kesenian yang ditimbulkan.
Kedekatan Lekra berdampingan dengan kesenian yang timbul dari masyarakat Banyuwangi tidak dibarengi oleh lembaga-lembaga kesenian lainnya. Lembaga kesenian seperti LKN (Lembaga Kesenian Nasional), Lesbumi dan yang lainnya tidak sekental apa yang telah dilakukan oleh para seniman yang bergabung dalam Lekra. Tidak bisa disangsikan lagi diberbagai sudut wilayah Banyuwangi seniman Lekra pun memberi nuansa lain dihati masyarakat.
Nasionalisme kedaerahan dengan mengusung bahasa daerah sebagai unsur utama merupakan fisi dari seniman Lekra, puluhan lagu berbahasa daerah diciptakan oleh para seniman untuk merespon kondisi sosial saat itu. Hadrah yang bernuansa islami sebagai perwujudan dari kesenian agama yang hidup diluar seniman Lekra yang dikembangkan kalangan santri tidak terlalu mendapat simpati dihati masyarakat, dikarenakan bahasa daerah yang saat itu menjadi sentral perubahan sosial tidak diadopsi sepenuhnya oleh kalangan santri. Di samping itu faktor lain yang menyebabkan kurang diminatinya seni hadrah adalah pola lokalisasi wilayah kaum santri yang sengaja dilakukan untuk memberikan jedah strata sosial-agama dengan penduduk diluar golongan santri.
Menutup masa kejayaan Lekra tahun 1965 meletus tragedi G 30/S PKI yang berimplikasi hebat pada seniman-seniman daerah yang bergabung dalam organisasi Lekra, cengkraman ketakutan dan kebimbangan menyelimuti kehidupan mereka. Lembaga-lembaga yang bernuansa agama berada diposisi atas angin. Para aktivis seni yang keluar dari Lekra paska 1965 diinternalisasi oleh Lembaga Kesenian Nasional (LKN) untuk melanjutkan kembali apa yang pernah mereka lakukan di Lekra.
Memasuki peralihan kekuasaan dari masa Orla ke Orba membawa dampak pada kesenian daerah. Masa Orla kesenian Banyuwangi lebih kentara dengan fisinya mengkritisi kondisi sosial dan menjadi milik rakyat sepenuhnya. Akan tetapi kebalikan dari masa penguasaan Orla, kekuasaan orde baru mengubah karakteristik dari kesenian daerah. Paska tahun 1970-an kesenian daerah diupayakan pada politik estetik semata. Seni apapun kemudian divisualisasi dalam bentuk gerak tari. Hal ini dilakukan dengan tujuan bahwa kesenian akan mendapat medan artistiknya manakala peraga tubuh bisa dinikmati secara langsung oleh para penonton.
Kecenderungan estetika kesenian daerah ini mengarahkan massa untuk selalu menikmati kesenian daerah dimana tanpa sadar masyarakat yang menghadiri kesenian tersebut telah mengadopsi dan meyakini pendidikan pembangunan yang dilancarkan oleh kebijakan Orba.
Dengan demikian aparatus Negara dalam tujuannya mendisiplinkan masyarakat dengan seperangkat ideologi disusupkan pada kesenian daerah. Ironisnya kesenian juga amat tergantung pada insentif pemerintah, boleh jadi perubahan sikap ini adalah sebagian dari dampak tragedi 1965 yang banyak mengorbankan seniman-seniman, dan kontrol pemerintah pada setiap gerak perkembangan kelompok kesenian, tutur Slamet Menur.
Tidak terkecuali pada kesenian apapun, perubahan arah kesenian beralamat pula pada kesenian hadrah. Pada tahun 1980-an kesenian hadrah bertransformasi pada bentuknya yang baru yang disebut sebagai Hadrah Kuntulan. Nuansa islam-arabis yang terkandung di dalamnya berubah mengikuti alur komposisi kedaerahan, isinya pun 50-50 menyesuaikan minat dari masyarakat saat itu. Walaupun begitu ciri khas dari seni hadrah tidak boleh hilang begitu saja, tembang daerah yang dibawa dalam hadrah kuntulan sifatnya tidak boleh keluar dari koridor syi’ar agama.
Bukan hanya komposisi isi saja, aransment musikalnya juga ditambahi dengan beberapa alat lainnya. Ada gendang, bonang Bali dan kluncing (triangle) memperjelas nuansa daerah dan agama dalam unsur kesenian kuntulan. Menurut Sobari Supyan, masuknya alat musik Bonang Bali adalah salah satu representasi ritualistik agama lain diluar agama Islam.
Walau begitu, pemerintah dan kaum agamawan tidak serta merta menerima keberadaan hadrah kuntulan tersebut. Dari beberapa kesenian islami yang ada di Banyuwangi, hadrah kuntulan sudah tidak menjadi identitas dari kesenian islami lagi. Bagi kalangan pesantren, hadrah yang lebih lekat dengan agama Islam terbagi atas dua macam seni hadrah yaitu hadrah aliran Pasuruan yang satu-satu instrumen musiknya berupa rebana, di masyarakat desa biasanya dihadiri golongan santri tua. Kedua, hadrah aliran Madura yang instrumen musiknya dari gendang dan rebana. Syair yang dibacakan pada setiap acara kedua kesenian hadrah di atas bisa berupa Burda atau Al-Barjanji yang mengisahkan tentang tuntunan perjalanan Nabi Muhammad.
Keberadaan hadrah kuntulan yang menitik beratkan pada aspek syi’ar agama hingga sekarang bagi pesantren dan tokohnya menganggap ini hanyalah semata-mata bercirikan Islam bukan lagi bernafaskan Islam apalagi dinamakan kesenian Islami. Komposisi kesenian yang menghibur dengan tujuan dakwah Islam yang dibawa, bagi kalangan pesantren hadrah kuntulan disejajarkan dengan kesenian daerah lainnya yang memiliki nuansa hiburan semata, adapun serapan nilai dakwa yang ada di hadrah kuntulan hanya sebagai pembeda antar kesenian yang tumbuh di Banyuwangi.
18/11/08
Hadrah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar